KEJAHATAN DI BALIK GLOBALISASI NEOLIBERALISME (1)


Kepentingan Utama GLOBALISASI[1]

Oleh: Anup Shah 

Perdagangan global mungkin akan menjadi dambaan sebagian besar orang seandainya saja ia bisa memberikan kesempatan kepada semua bangsa untuk makmur, membangun secara adil dan saling menguntungkan. Neoliberalisme digembar-gemborkan sebagai mekanisme untuk mencapainya. Margaret Thatcher membuat singkatan TINA--There Is No Alternative (tak ada alternatif lain). Tapi, apakah yang dimaksud dengan neoliberalisme itu? 

Liberalisme Politik versus Liberalisme Ekonomi 

Perlu dicatat, bahwa terdapat perbedaan penting antara politik liberal dengan ekonomi liberal. Kekaburan tersebut tak pernah diklarifikasi oleh media massa mainstream (terkemuka)! 

Politik liberal berbicara tentang kepedulian terhadap isu-isu sosial dan upaya untuk memberikan saran-saran yang progresif dan fleksibel dalam menanganinya, cara yang bertentangan dengan yang dilakukan oleh unsur konservatif, atau sayap kanan. 
Namun, liberalisme dalam terminilogi ilmu ekonomi berbicara tentang kepedulian terhadap liberalisasi kapital. Politisi konservatif bisa sangat mendukung ekonomi liberal; sebaliknya terhadap politik liberal.

Sebagaimana yang disimpulkan oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia: 
“’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama. Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk menghindari konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan liberalisme ekonomi, temasuk neo-liberalisme.”[2]

Sekilas tentang Sejarah Neoliberalisme 
Sistem modern perdagangan bebas, perusahaan bebas dan ekonomi yang berbasiskan-pasar, sebenarnya telah muncul sejak 200 tahun yang lalu, sebagai satu mesin penggerak utama dalam pembangunan Revolusi Industri. Namun, akarnya adalah merkantilisme yang terbentuk selama Abad Pertengahan dan Zaman Kegelapan Eropa, beberapa ratus tahun sebelumnya! Dan juga memiliki akar serta pararel dengan berbagai metode yang digunakan imperium sepanjang sejarahnya (dan, saat ini, masih digunakan) untuk menguasai tempat-tempat yang lebih lemah di sekitarnya serta untuk merampas kekayaannya. Sebenarnya, bisa saja diyakini bahwa neoliberalisme (sekarang ini) tak lain merupakan merkantilisme yang didandani oleh retorika yang lebih bersahabat, mengingat relitasnya tetap sama dengan proses merkantilis yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu.[3]

Pada tahun 1776, ekonom Inggris, Adam Smith, menerbitkan bukunya, The Wealth of Nations. Adam Smith, yang dianggap beberapa orang sebagai bapak kapitalisme pasar bebas (modern) dan bisa menulis buku yang sangat berpengaruh, menganjurkan bahwa untuk mencapai efesiensi maksimum, semua bentuk campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi sebaiknya ditanggalkan, dan seharusnya tak ada pembatasan atau tarif dalam manufaktur serta perdagangan satu bangsa agar bangsa tersebut bisa berkembang. 
Itu lah yang membentuk landasan bagi kapitalis untuk bebas berusaha (memiliki perusahaan bebas) dan, hingga Krisis Berat (Great Depression) pada tahun 1930-an, pemikiran tersebut dijadikan teori ekonomi utama yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris. Perlu dicatat, bahwa agar kedua bangsa tersebut sukses mempertahankan pemikiran tersebut, mereka membutuhkan alasan dan penyokong yang kuat, yakni imperialisme, kolonialisme, dan penundukan bangsa lain, (yang mereka lakukan) agar mereka memiliki akses kepada sumber daya yang bisa memproduksi kemakmuran yang sangat tinggi. 

Namun, dalam waktu yang tak begitu lama, hingga sebelum Perang Dunia II, telah kelihatan tanda-tanda melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. 

Karena Krisis Berat pada tahun 1930-an tersebut, seorang ekonom, John Maynard Keynes, menganjurkan bahwa regulasi dan campur tangan pemerintah sebenarnya dibutuhkan untuk memberikan keadilan yang lebih besar dalam pembangunan. Anjuran tersebut merupakan landasan bagi model pembangunan Keynesian dan, setelah Perang Dunia II, dijadikan landasan model pembangunan untuk membangun kembali sistem ekonomi internasional. Marshall Plan Eropa membantu menata kembali ekonomi Eropa, dan bangsa-bangsa Eropa bisa memperoleh manfaatnya, yakni sanggup menyediakan berbagai pelayanan sosial--seperti untuk program-program kesehatan, pendidikan dan sebagainya--dan Roosevelt (dengan New Deal nya) tentu saja sangat paham akan dampak-dampak positif nya.

Sebenarnya, lembaga-lembaga yang didirikan pada pertemuan di Bretton Woods--seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds/IMF) dan Bank Dunia (Wolrd Bank/WB)--dirancang dengan berpijak pada kebijakan pemikiran Keynesian; sebagai cara untuk membantu menyediakan regulasi internasional dan pengawasan terhadap kapital. Sebagimana yang dikatakan Susan George: “… ketika lembaga-lembaga tersebut didirikan di Bretton Woods pada tahun 1944, mandatnya adalah mencegah konflik di masa depan dengan memberi pinjaman bagi rekonstruksi dan pembangunan, serta untuk (sementara waktu) mengatasi masalah-masalah dalam neraca pembayaran. Mereka tak memiliki mandat untuk mengontrol orang-orang pemerintahan yang membuat keputusan-keputusan ekonomi, termasuk tak memberikan izin untuk campur tangan dalam kebijakan nasional.” Sangat lah berbeda dengan apa yang berlangsung saat ini! 

Pada tahun 1945 hingga tahun 1950, jika anda bersikukuh menawarkan berbagai gagasan dan kebijakan dengan standar perangkat neoliberal (seperti saat ini), anda akan ditertawai (diolok-olok) atau dikirim ke rumah sakit jiwa. Pada saat itu, paling tidak di negeri Barat, setiap orang adalah Keynesian, sosial demokrat, sosial-Kristen demokrat, atau dipengaruhi ide-ide Marxis. Gagasan bahwa pasar sebaiknya diizinkan membuat keputusan ekonomi dan politik yang penting; bahwa negara seharusnya secara sukarela mengurangi perannya dalam ekonomi; atau perusahaan-perusahaan sebaiknya diberikan kebebasan total; serikat buruh sebaiknya dikekang; dan warga negara dikurangi jaminan sosialnya—ide-ide semacam itu sama sekali asing dengan semangat pada saat itu. Bahkan, bila pun seseorang sebenarnya setuju dengan gagasan-gagasan tersebut, ia akan ragu mengambil posisi nya di hadapan publik karena akan kesulitan untuk mencari pendegar.[4] 

Namun, karena para elit dan perusahaan-perusahaan menganggap bahwa dampak pemikiran yang berupaya menyetarakan masyarakat tersebut (Keynesian) mengurangi keuntungan mereka, maka ekonomi liberal pun dihidupkan kembali, dan muncul lah terminologi baru--“neoliberalisme”. Yang ujudnya tak memiliki batas-batas nasional, atau diterapkan terhadap ekonomi internasional. Berawal dari Universitas Chichago--dengan filsuf-ekonom nya, Friederich von Hayek dan muridnya, Milton Friedman--ideologi neoliberalisme disebar ke seluruh dunia dengan sangat baiknya. 

Namun, bahkan sebelumnya, sudah terlihat tanda-tanda bahwa tatanan ekonomi dunia akan menempuh cara tersebut: sebagian besar perang (di sepanjang sejarah) pada intinya bertujuan menguasai ekonomi, perdagangan, dan sumber daya. Keinginan memiliki akses terhadap sumber daya murah menyebabkan kekuasaan imperium mengesyahkan aksi militer, tentu saja dengan kedok “kepentingan nasional”, “keamanan nasional”, “campur tangan “kemanusiaan” dan sebagainya. Sesungguhnya, sebagaimana diungkapkan J.W Smith, pola-pola (yang serupa dengan) merkantilisme telah terlihat sepanjang sejarah: 
“Kemakmuran negara-kota kuno (seperti Venesia dan Genoa) landasannya adalah kekuatan angkatan laut mereka, dan pakta/perjanjian dengan kekuatan besar lainnya untuk menguasai perdagangan. Hal itu diperluas juga pada bangsa-bangsa lain agar bisa merancang kebijakan perdagangan mereka demi mengeruk kekayaannya (merkantilisme). Adakalanya satu negeri yang kuat akan menindas negeri lainnya (agar bisa merampas kekayaannya) dengan diawali perang dagang, perang terselubung, atau perang fisik; namun, negeri yang lebih lemah, yang terbelakang, biasanya akan kalah dalam perang tersebut. Karena kekuatan militer nya, negeri-negeri yang lebih maju mampu mendiktekan aturan-aturan dagang dan mempertahankan hubungan yang tidak adil/setara."[5] 

Karena ekonomi Eropa dan Amerika bisa berkembang, mereka kemudian membutuhkan perluasan yang lebih besar guna mempertahankan standar hidup yang tinggi (bagi segelintir orang). Dengan demikian mereka harus meluaskan teritori kolonialnya agar bisa memperoleh akses yang lebih besar pada bahan mentah dan sumberdaya lainnya, termasuk buruh murah yang bisa dieksploitasi. Negeri yang melawan sering menghadapi penindasan yang brutal atau campur tangan militer. 
Karena perdagangan harus mengabaikan batas-batas nasional, dan manufaktur membutuhkan pasar dunia, maka bendera bangsa harus diseragamkan, dan pintu bangsa (yang tertutup bagi negeri-negeri maju) harus didobrak. Konsesi-konsesi yang diperoleh oleh pemodal harus diselamatkan oleh kementerian negara bahkan, dalam proses tersebut, kedaulatan negeri-negeri lain akan diobrak-abrik. Koloni harus diperoleh atau didirikan, tak ada sudut dunia yang luput atau tak terpakai.[6]

Pernyataan Ricahards Robinson, Profesor Antropologi dan pengarang Global Problems and the Culture of Capitalism, juga layak dikutip lebih panjang: “Depresi Berat Dunia pada tahun 1873, yang sebenarnya tetap berlangsung hingga pada tahun 1859, merupakan manisfestasi besar (pertama) krisis bisnis kapitalis. Depresi itu sebenarnya bukan lah krisis ekonomi yang pertama (karena beberapa kali, ribuan tahun sebelumnya, juga pernah terjadi), tapi kehancuran keuangan pada tahun 1873 mengungkapkan derajat integrasi ekonomi global--bagaimana kejadian ekonomi di salah satu bagian dunia akan mempengaruhi negeri lainnya…” 

Depresi pada tahun 1873 membuktikan adanya problem besar lainnya yang menghambat upaya kapitalis untuk memperluas diri dan meningkatkan pertumbuhannya secara terus menerus; pertumbuhan yang hanya bisa dilanjutkan sepanjang bisa disediakan bahan-bahan mentah dan ada peningkatan permintaan terhadap barang-barang nya, yang sejalan dengan cara-cara (kebutuhan) untuk menginvestasikan keuntungan dan kapital. Dalam situasi tersebut, jika pada tahun 1873 anda adalah seorang investor Amerika atau Eropa, ke mana anda akan melakukan ekspansi ekonomi? 

Jawabannya jelas: Eropa dan Amerika akan melakukan ekspansi kekuasaannya menyeberangi lautan, khususnya ke daerah-daerah yang relatif masih belum tersentuh kapitalis—Afrika, Asia, dan Pasifik. Kolonialisme, faktanya, menjadi jalan keluar yang direstui demi memenuhi kebutuhan untuk meluaskan pasar, meningkatkan kesempatan bagi para investor, dan menjamin pasokan bahan mentah. Cecil Rhodes, salah seorang tokoh besar kolonisasi Afrika dari Inggris, mengakui pentingnya ekspansi ke luar negeri justru untuk mempertahankan perdamaian di dalam negeri. Pada tahun 1895 Rhodes berkata: 

“Kemarin aku berada di Ujung Timur London, menghadiri sebuah pertemuan para pengangguran. Aku mendegar pidato yang liar yang, ringkasannya, hanya lah teriakan: “roti”, ”roti”. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku merenungkan kejadian tersebut, dan aku menjadi lebih yakin ketimbang sebelumnya akan pentingya imperialisme... Ide cemerlang ku itu merupakan jalan keluar bagi masalah sosial--yakni untuk menyelamatkan 40 juta penduduk Kerajaan Inggris dari perang saudara berdarah--karenanya, kami, negarawan kolonial, membutuhkan tanah baru untuk menempatkan kelebihan penduduk, untuk menyediakan pasar baru bagi barang-barang yang kami produksi di pabrik-pabrik dan pertambangan kami. Imperium, sebagaimana yang sering aku katakan, merupakan persoalan roti dan mentega. Jika anda ingin menghindari perang saudara, maka anda harus menjadi imperialis. 

Hasil dari hasrat untuk melakukan ekspansi imperialis: rakyat seluruh dunia diubah menjadi produsen hasil panenan (untuk diekspor)--sebagaimana jutaan petani
subsisten dipaksa menjadi buruh upahan yang memproduksi barang-barang yang dibutuhkan pasar--dan mengharapkan para pedagang serta para industrialis Eropa, Amerika, membelinya, ketimbang memasoknya untuk diri sendiri, atau demi memenuhi kebutuhan pokoknya.”[7]

Esensinya, Perang Dunia I adalah perang untuk memperebutkan sumber daya, atau pertempuran antar pusat-pusat imperium demi menguasai dunia. Perang Dunia II adalah pertempuran lain semacamnya. Boleh jadi, menurut mereka, perang-perang semacam itu bukan cara yang baik dan, karenanya, harus mencari cara yang lebih kooperatif. 

Tapi, kerjasama tersebut bukan lah terutama untuk semua kepentingan dunia, atau hanya demi kepentingan dirinya. Upaya keras Soviet untuk mengambil cara pembangunan yang independen--yang memiliki cacat karena karakter sentralistik nya, dan perspektif paranoid serta totaliter nya--merupakan ancaman bagi pusat-pusat kapital tersebut karena akan menyebabkan koloni mereka “mengambil gagasan yang salah”, dan juga mencoba jalan independen bagi pembangunan mereka. 

Karena Perang Dunia II menyebabkan negeri-negeri imperialis semakin melemah, banyak negeri koloni mulai me-merdeka-kan diri. Di beberapa tempat terdapat negeri-negeri yang memiliki potensi untuk mengusung proses demokratik dan, bahkan, bisa memberikan contoh kepada negeri-negeri tetangganya untuk mengikutinya. Proses demokratik tersebut jelas akan mengurangi akses terhadap sumber daya murah, dan hal itu akan mengancam pengaruh, kekuasaan, dan kontrol perusahaan-perusahaan multinasional serta negeri-negeri imperium nya (mantan-mantan imperialis). Sering, kemudian, mereka memberikan sanksi berupa aksi militer. Untuk mencari dukungan di dalam negeri, mereka menyebarkanluaskan, menggembar-gemborkan, ketakutan akan komunisme, seandainya pun harus berbohong. 

“…Untuk memberikan alasan bagi (intervensi atau aksi militer lainnya) anda harus berbohong sedemikian rupa agar tercipta kesan (yang salah) bahwa Uni Soviet lah yang sedang kalian perangi…"[8]

Tujuannya akhir nya adalah adalah memastikan semuanya ada di jalur yang memudahkan suatu bentuk globalisasi yang bisa memuaskan perusahaan besar dan kelas elit kekuatan-kekuatan (mantan) imperialis. (Jadi, tidak lah mengherankan bila Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, sebagaimana juga bangsa Eropa lainnya bisa begitu makmur, sedangkan negeri-negeri bekas koloni masih tetap miskin; boom ekonomi bangsa maju diongkosi oleh sebagian besar penduduk dunia). Sebagai hasilnya, globalisasi akan ditopang oleh kekuatan militer (hingga sekarang masih demikian) untuk memastikan dan mempertahankan keuntungannya. 

Jadi, walaupun sepertinya kolonialisasi dan imperialisme berakhir bersamaan dengan usainya Perang Dunia II, namun upaya mati-matian untuk mengembangkan anjuran Adam Smith-perdagangan bebas dan pasar bebas--dan kebijakan-kebijakan merkantilis masih tetap berlangsung. (Sesungguhnya, dengan membaca tulisan Adam Smith, The Wealth of Nation, akan terungkap bahwa kenyataan sekarang ini sangat menyimpang jauh dari doktrin kapitalisme pasar bebas; atau masih tetap bisa dianggap sebagai kapitalisme monopoli; atau seolah zaman merkantilisme telah mencapai kematangannya. Kita akan membicarakannya kemudian). Dan, dengan demikian, sistim kepercayaan nya pun harus selaras dengan tujuan politiknya: 


“Saat ketidakadilan imperialisme (merkantilis) sudah sedemikian mencolok dan begitu memalukannya, maka dipasok lah sistim kepercayaan bahwa merkantilisme sudah ditanggalkan, kini perdagangan bebas lah yang menggantikannya. Dalam kenyataan nya, perampasan kekayaan masih dilakukan, ditutup rapat-rapat oleh sistem monopoli yang kompleks, dan perdagangan yang tak adil/setara disembunyikan di balik tabir pasar bebas. Berbagai alasan diberikan bila ada perang antar bangsa-bangsa imperium yang sedang memperebutkan tujuan yang sama: ‘Siapa yang akan menguasai sumber daya, perdagangan, dan kemakmuran, yang dihasilkan melalui ketidakadilan dalam perdagangan?’ Semua itu dibuktikan oleh adanya ketimpangan dalam perdagangan, yang mengalirkan kekayaan dunia ke pusat-pusat kapital imperium yang ada saat ini, tak beda dengan perampasan tersembunyi (melalui perdagangan) yang mereka lakukan berabad-abad yang lalu. Pertempuran memperebutkan kekayaan dunia hanya lah sedang disembunyikan di balik berbagai sistim kepercayaan, apalagi bila rahasia kebohongan nya (perampasan kekayaan negeri-negeri lain) terbongkar.”[9]

Khususnya pada era Reagan dan Thatcher, neoliberalisme didesakkan ke sebagian besar belahan dunia, menghancurkan apa saja yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan menswastakan apa saja yang dimiliki oleh publik, menggunakan campur tangan militer jika dibutuhkan. Kebijakan Penyesuaian Struktural digunakan untuk membuka ekonomi negeri-negeri miskin sehingga bisnis-bisnis besar dari negeri-negeri maju bisa memiliki dan mengakses berbagai sumber daya dengan murah. Jadi, dimulai dari sekte kecil dan tak populer yang, sebenarnya, tak memiliki pengaruh, neoliberalisme kemudian menjadi agama utama dunia dengan doktrin-doktrin dogmatik nya, dengan para pendeta nya, dengan lembaga-lembaga yang menghasilkan hukum-hukum nya dan, yang mungkin paling penting dari semuanya, neraka nya, bagi mereka yang murtad dan para pendosa yang menentang kebenarannya. Oskar Lafontaine, mantan Menteri Keuangan Jerman, yang oleh Financial Times dijuluki sebagai “Keynesian tak tergoyahkan”, baru saja dikirim ke neraka tersebut karena ia berani mengajukan pajak perusahaan yang lebih tinggi dan memangkas pajak orang-orang biasa dan keluarga yang kurang mampu. 

Tahun 1979, tahun Margaret Thatcher menduduki jabatannya dan menerapkan revolusi neo-liberal di Inggris. Wanita Besi ini mendidik dirinya sebagai murid Friederich von Hayek, ia seorang sosial Darwinis dan tak memiliki rasa cemas dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan nya. Dia begitu terkenal karena mengabsyahkan program nya dengan sebutan satu kata, TINA, singkatan dari There is No Alternative. Nilai pokok doktrin Thatcher dan neo-liberalisme itu sendiri adalah gagasan persaingan--persaingan antar bangsa, antar wilayah, antar perusahaan, dan tentu saja antar individu. Kompetisi menjadi sentral nya karena ia bisa memisahkan domba dari kambing, orang dewasa dari anak-anak, yang layak dari yang tak layak. Hal itu dimaksudkan untuk mengalokasikan (dengan kemungkinan efesiensi yang paling besar) seluruh sumber daya, apakah sumber daya fisik, sumber daya alam, sumber daya manusia, atau sumber daya keuangan. 

Berbeda tajam dengan filsuf besar China Lao Tzu, yang menuntaskan filsafat Tao-te Ching nya dengan kata-kata: ”Di atas segalanya, jangan bersaing”. Satu-satunya aktor dalam dunia neo-liberal yang nampaknya paling percaya pada anjuran nya adalah aktor paling besar--perusahaan-perusahaan Transnasional. Prinsip kompetisi jarang diterapkan di antara sesama mereka; mereka lebih senang mempraktekkan apa yang kita sebut dengan Aliansi Kapitalis.[10]

Karena Perang Dingin telah “berakhir”, tak mengherankan bila globalisasi bentuknya seperti yang kita lihat sekarang ini--arah yang tak akan dituju “oleh perjalanan” Perang Dingin. Perang Dunia berkaitan dengan upaya melebarkan jalan-rimbun perdagangan dan yang menguntungkannya. Sepanjang Perang Dingin kita mengisi dunia dengan ancaman terhadap demokrasi pasar: sekarang sebaiknya kita mengupayakan perluasan pencapaian nya.[11]

Saat ini kebijakan neoliberal dipahami secara negatif dan positif. Perusahaan yang diberikan kebebasan telah menghasilkan banyak inovasi produk. Pertumbuhan dan pembangunan (bagi segelintir orang) telah melimpah ruah. Namun, bagi sebagian besar orang, malah meningkatkan kemiskinannya, dan inovasi serta pertumbuhannya tidak lah dirancang untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar rakyat dunia. 
Tak seorang pun bisa memisahkan ilmu ekonomi, ilmu politik, dan sejarah. Politik lah yang mengontrol ekonomi. Sejarah, bila akurat dan sepenuhnya didokumentasikan, bisa menceritakannya. Dalam sebagian besar buku-buku teks dan pengajaran, tak hanya ketiga bidang studi itu saja yang dipisah-pisah tapi, lebih jauh lagi, masing-masing nya juga dikotak-kotakan menjadi sub bidang studi sehingga mengaburkan kaitan-kaitan (ketat) nya.[12]

Jadi, Neoliberalisme adalah… 

Neoliberalisme, bila dikatakan secara retorik, esensi nya adalah bagaimana mengusahakan agar perdagangan antar bangsa menjadi lebih mudah. Maksudnya, mengusahakan agar barang-barang, sumber daya dan perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya untuk mendapatkan sumber daya yang lebih murah, untuk memaksimalkan keuntungan dan efisiensi. 

Agar tujuan tersebut bisa dipenuhi maka berbagai kontrol harus disingkirkan. Atau satu-satu nya jalan untuk memaksimalkan itu semua adalah dengan menanggalkan berbagai kontrol; menghapuskan hal-hal yang dianggap membatasi perdagangan bebas, seperti :Tarif.Peraturan-peraturan.Standar-standar tertentu, legislasi, dan ukuran-ukuran yang diregulasi.Pembatasan-pembatasan terhadap aliran kapital dan investasi. 
Tujuan nya agar mampu melepaskan pasar bebas mencari keseimbangan nya sendiri secara alamiah melalui tekanan permintaan-permintaan pasar, kunci bagi keberhasilan ekonomi yang berbasiskan-pasar. 

Bila artikel What is "Neo-Liberalism? , A Brief Definition for Activists" (apa itu neo-liberalisme?, garis besar definisi bagi aktivis), yang ditulis Elizabeth Martinez dan Arnoldo Gracia, dari Corporate Watch, diringkas, maka poin-poin utama neoliberalisme mencakup:Hukum pasar--kebebasan bagi kapital, barang dan jasa, sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili oleh serikat buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi mobilitas kapital, seperti peraturan-peraturan. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara atau pemerintah.Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme aturannya sendiri.Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti perusahaan yang mengelola kebutuhan air, bahkan perusahaan internet).Mengubah persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung jawab individual.

Sama hal nya juga dengan Richard Robinson, dalam bukunya Global Problems and the Culture of Capitalism (Allyn Bacon, 1999), yang meringkas (pada halaman 100) prinsip-prinsip utama di balik ideologi neoliberalisme ini:Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai cara untuk memajukan manusia.Pasar bebas tanpa “campur tangan” pemerintah adalah yang paling ampuh dan secara sosial bisa mengoptimalkan alokasi sumber daya.Globalisasi ekonomi akan menguntungkan semua orang.Swastanisasi akan menghilangkan pemborosan dalam sektor publik.Fungsi utama pemerintah seharusnya adalah menyediakan infrastruktur untuk memajukan kepatuhan akan hukum, yang berkaitan denga hak-hak pemilikan dan kontrak. 

Selanjutnya, pada tataran internasional, bisa kita mengerti tambahan-tambahan nya, yakni diterjemahkan dalam bentuk: Kemerdekaan dalam perdagangan barang dan jasa.Sirkulasi kapital yang lebih bebas.Kemampuan bergerak (investasi) harus lebih dibebaskan. 

Asumsi yang digaris-bawahi selanjutnya adalah bahwa pasar bebas merupakan sesuatu yang baik. Bisa saja demikian tapi, sayangnya, jika kita bedakan antara realitas dengan retorika, apakah benar pasar itu sedemikian bebas nya, dan tak dipengaruhi oleh yang berkuasa, atau dimanipulasi demi kepentingan mereka. Walau bagi beberapa ekonom, ideologi dianggap, bahkan, seperti teologi--dalam pengertian bahwa cara perkembangan nya alamiah--tapi realitas juga merupakan faktor yang bisa menjelaskan permainan kekuasaan yang mempengaruhi “kebebasan” dalam perdagangan bebas. Dilihat dari perspektif kekuasaan, pasar “bebas” dalam kenyataan nya--sebagaimana yang dipahami banyak orang di seluruh dunia--merupakan kelanjutan kebijakan lama--yakni perampasan--apakah itu disengaja atau tidak. Tapi kita tak pernah mendengar ada diskusi semacam itu dalam media mainstream (terkemuka). 
*** 


[1] Free Trade and Globalization, September 03, 2001.
[2] Elizabeth Martinez dan arnoldo Garcia, What is “Neoliberalism”?, National Network for Immigrant and Refugees Rights, 1 Januari, 1997. 
[3] Lihat World’s Wasted Wealth II, Bagian 2, dan Economic Democracy, keduanya ditulis oleh J.W Smith, Institute for Economic Democracy. 
[4] Susan George, A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Oppurnuties for Structural Chage, Conference On Economic Sovereignity in a Globalising World, Bangkok, 24-26 Maret, 1999. 
[5] J.W Smith, The World’s Wasted Wealth 2, (Institue fo Economic Democracy, 1994), halaman 120.
[6] Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat, 1919, sebagimana dikutip oleh Noam Chomsky, On Power and Ideology, South End Press, 1990, halaman 14
[7] Richard H Robbins, Global Problems and the Culture of Capitalism , Allyn and Bacon, halaman 93-94. 
[8] Profesor Samuel Hutington, Universitas Havard, dikutip oleh Noam Chaomsky dalam Latin America: From Colonization to Globalization, Ocean Press, 1999, halaman 8. 
[9] J W Smith, Economic Democracy: The Political Strunggle for 21st Century, M E Sharpe, 2000, halaman 12. 
[10] Susan George, A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Oppurtunities for Structural Change, Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Bangkok, 22 Maret, 1999. 
[11] Anthoni Lake, National Security Adviser, 1990, dikutip dari Noam Chomsky, World Orders Old and New, Columbia Press, 1996, halaman 71. 
[12] J.W. Smith, The World Wasted Wealth 2, Institute for Economic Democracy, 1994, halaman 22.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK