AGAMA LOKAL, PENGINJILAN DAN BAYI YANG TERBUANG

Misionaris-misionaris awal dalam penyebaran agama Kristen datang ke daerah-daerah misi dibekali suatu doktrin-ajaran-defenisi situasi, atas daerah-daerah itu. Semangat mesianistik menggebu untuk membebaskan, menyelamatkan orang-orang di tanah misi itu dengan apa yang mereka punya : agama baru - Kristen, dengan segala kabar baiknya termasuk "keselamatan instan".

Doktrin - ajaran - defenisi situasi itu adalah : Tanah-tanah misi yang hendak dituju itu adalah tanah-tanah kafir – dunia-dunia kafir, yang mesti diinjili, yang mesti diperkenalkan "Tuhan baru" itu, yang mesti dikristenkan. Orang yang belum mengenal "Tuhan Kristen", orang yang belum mengenal Kristus dengan segala ajarannya adalah orang-orang kafir. Singkat cerita, dunia di luar Kristen adalah kafir.

Perang antar agama untuk merebut dan menanamkan pengaruh diberbagai wilayah misi menandai era awal pekabaran Injil disamping pembongkaran-pembongkaran "rumah-rumah ibadat" agama-agama lokal dan pelarangan semua ajaran serta ibadatnya kepada "Tuhan".

Dunia di luar Kristen adalah kafir dan ibadat orang-orang di tanah misi kepada Tuhannya seturut pengertian mereka adalah menyembah berhala. Beratus-ratus tahun kemudian, dengan dibantu ilmu Antropologi maupun Etnologi, baru kita menyadari kekeliruan itu : Kesadaran akan adanya "Zat" Yang Maha Tinggi, sama tuanya dengan adanya manusia pertama di bumi ini.

Pengecualian. Seorang misionaris awal datang ke pulau Flores, menyaksikan kehidupan yang baik disana, kemudian menuliskan laporannya bahwa : Orang-orang Flores sudah menjadi Kristen jauh-jauh sebelum ada penginjilan, jauh sebelum diperkenalkan Kristus kepada mereka. Ini menyiratkan bahwa jauh sebelum agama Kristen (maupun agama apapun) diperkenalkan kepada orang-orang di kawasan ini, mereka sudah hidup baik, seperti yang dicita-citakan ajaran Kristen atau agama apapun.

Apa yang membuat orang-orang di Flores menghasilkan suatu kehidupan yang baik? Sudah dapat dipastikan, agama-agama lokal mereka yang disamping mengajarkan tentang Tuhan, Zat Yang Maha Tinggih itu, ia juga mengajarkan nilai-nilai yang dikramatkan, disakralkan, yang berfungsi membimbing segala prilaku dan tindakan orang-orang itu. Bersumber dari agama lokal itu orang sudah dapat membedakan baik - buruk, kebajikan - kejahatan, suci kramat kudus - noda dosa profan tercela.

Jika suatu sistem ajaran dan kepercayaan menghasilkan orang baik-baik dan sistem ajaran dan kepercayaan itu berbicara juga menyangkut keterpukauan mereka pada suatu kekuatan dahsyat abadi misterius yang sulit didefenisikan dengan cuma satu defenisi, dan sulit dinamakan dengan cuma satu nama, sistem ajaran dan kepercayaan itu tak lebih tak kurang adalah agama, agama lokal dalam konteks tulisan ini. Di Manggarai Ia disapa "Mori Karaeng". Di Ngada dan Nagekeo Ia disapa " Dewa Zeta Gae Zale". Di Lamaholot Ia disapa "Rera Wulan Tana Ekan". Di Sika Ia disapa " Ina Nian Tana Wawa Ama Lero Wulan Reta". Di Timor Ia disapa "Uis Neno Uis Afu". Di Sumba Ia disapa "Mauri".

Saya ambil contoh dari Lamaholot tempat saya datang. Nilai-nilai dari agama lokal dengan fokus kepercayaan kepada Tuhan yang disapa Rera Wulan Tana Ekan :

1."Hungen baat tonga belolo toon Rera Wulan Tana Ekan" (Mempersembahkan pujian kepada Tuhan serta menjunjung tinggi Tuhan sebagai Allah)

2." Lugu rere aen lodo, gelekat gewayan Tana Ekan" (=Mempersembahkan bakti kepada manusia bersama lingkungan alam sekitarnya)

3.1. "'Lein lau weran rae, hikun teti wanan lali, uak tukan wai matan" (=Persatuan dari semua jurusan dari seluruh penjuru angin menjadi sebuah kekuatan utuh pada titik pusat perkampungan untuk mengiktiarkan kebaikan dalam hidup bersama)

3.2. "Puin taan ro uina, gahan taaro kahana" (=Berkat persatuan keramat surga dan bumi kita semua saling mengikat menjadi satu ikat dn satu berkas tak terpisahkan, tak teruraikan)

3.3. "Mei wutun worak wakon" (=Kemanapun kita pergi dan dimanapun kita tiba, kita semua adalah saudara sedarah-seasal)

4. "Kakan keru arin baki (=Mengenai kepentingan "Lewo" (kampung adat), keseluruhan warga harus turut bicara sebagai saudara sedarah-seasal dalam suasana yang sejuk segar dengan cara yang tenang terbuka, sampai kata sepakat mengeratkan tali persaudaraan)*

5. "Tekan tabe tika teka, tenu tabe gike ukun" (=Makan dibela bagi bersama, minum dikukursisakan bersama pula) (Pater Kopong Keda SVD dan Felysianus Sanga. Pancasila Versi Lamaholot).

6. "Ana ihiken selaka bai woraken belaon" (=Manusia tak terkira nilainya)

7. "Budi dike akal sare" (Manusia diciptakan baik adanya karena itu ia harus berlaku baik dan beradab)

8. "Open hala aka kuran. Muren dore muren, nalan dore nalan" (=Manusia mesti berlaku jujur dan benar kepada siapapun. Tidak boleh melakukan tipu daya. Kalau benar katakan benar, kalau salah katakan salah)

9. "Ata raen dore ata raen, titen dore titen" (=Manusia harus berlaku adil kepada semua yang lain. Milik orang ya milik orang, milik kita ya milik kita)

10. "Moritet di koda matayet di koda" (=Keselamatan maupun bencana kematian, semuanya tergantung pada praksis kebenaran)

11. "Rera Wulan Tana Ekan no'on matan kuluken" (=Tuhan tidak menutup mata atas perbuatan baik maupun perbuatan jahat kita. Ia menurunkan berkat maupun bencana sesuai perbuatan kita. Berkat berupa kesehatan dan hidup yang panjang. Bencana berupa sakit penyakit dan kematian).

Inilah beberapa nilai yang tetap dihayati secara diam-diam, yang kemudian diwariskan secara tertatih-tatih kepada generasi-generasi berikutnya yang sudah terlanjur tercerabut dari akar tradisi agama lokal setempat.

Penginjilan di masa awal memegang peranan penting dalam hal ketercerabutan. Pewartaan ketika itu terlalu memandang bahwa di luar Kristen adalah kafir dan misionaris awal itu, mereka melakukan kesalahan ibarat "membuang air mandi bayi sekalian dengan bayinya".

Air mandi bayi itu berupa hal-hal "luaran" dari agama lokal itu : ritus-ritusnya yang tidak masuk akal, tempat ibadatnya yang tidak serupa dengan Bait Allah di Yerusalem, gaya berdoanya yang tidak mengikuti Tata Perayaan Ekaristi Baru maupun Lama, "imam-imamnya" bukan orang-orang sekolahan apalagi tamatan seminari tinggi. Semuanya aneh, tidak canggih dan sepertinya menyemba berhala, karena itu mesti dilarang, mesti dibuang, mesti dibongkar.

Dalam upaya itulah, tanpa disadari, "bayi" dari agama lokal itupun ikut terbuang, ikut dilarang untuk dihayati, ikut dilarang untuk diwariskan. Bayi itu adalah : Nilai-nilai dari agama lokal itu - idealismenya - religiositasnya, yang telah terbukti melahirkan suatu tatanan sosial yang baik yang dilaporkan salah satu misionaris itu.

Orang Flores dan tentu semua komunitas adat dimanapun berada yang mempunyai agama lokal adalah "orang Kristen" dan "orang Muslim" jauh sebelum nabi-nabi dan "Tuhan agama itu" diperkenalkan kepada mereka. Idem dito yg lain. Bukankah untuk mengenal Tuhan Yang Satu itu, Tuhan sendiri menyediakan berbagai jalan, berbagai agama, termasuk agama lokal? Bukankah Tuhan sendiri menciptakan akal budi manusia untuk memikirkan dan merumuskannya?

Andai saja ketika itu nenek moyang kita dan "misionari-misionaris" kitalah yg melakukan ekspansi kebudayaan ke sana, apa yang terjadi? Sejarah bisa bercerita sangat lain pada hari ini.

da Ama Nu'en Bani Tulit.
Mutiara Dari Woka Belolon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA

"BEKU” SANG NAGA LAUT YANG PERKASA (Bagian 1)

PREMANISME POLITIK SEBAGAI KETIDAKDEWASAAN BERPOLITIK